14 May 2007

Pengajian ke 01

Pengajian ke 01

الْحَمْدُ لله ِرَبّ ِالْعَالَمِيْنَ , وَصَلَّىاللهُ عَلَى سَيـِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ (أ َمَّا بَعْدُ) فَيَقُوْلُ الْمُرْتَجِي غُفْرَ الْمَسَاوِى عَبْدُالله ِبْنُ حِجَازِىّ الْخَلْوَتِيُّ الْمَشْهُوْرُبِالشَّرْقَاوِىِّ : هَـذِهِ تَقْيِِيْدَاتٌ لَطِيْـفَةٌ عَلَىحِكَم ِالْعَارِفِ بِاللهِ سَيِّدِىْ أَحْمَدَ بْن عَطَآءِ الله ِ قُدّ ِسَ سِرّ ُهُ ...... الخ
BISMILLAHIR ROHMAANIR ROHIM.
Yang disebut Kitab Al-Hikam yaitu yang berada di dalam kurung. Adapun yang lain-lain seperti muqoddimah itu tadi adalah Syarah (penjelasan) dari Syekh Abdulloh As-Syarqowi.
Setengah dari pada peraturan mengarang Kitab, kitab agama terutama, dimulai dengan “Bismillaahir Rohmaanir Rohiim” atau menyebut nama Alloh, kemudian “Al-Hamdu lillah …......…dst” pernyataan syukur kepada Alloh. Di dalam Al-Qur’an dimulai dengan “Bismillah”... Bismillah atau BILLAH istilah Wahidiyah/Tauhid. “Ar-Rohman Ar-Rohim” ini sifat “JAMAL” atau sifat kasih sayang. Menunjukkan Tuhan lebih banyak kasih sayang-Nya. Ada dawuh:
سَبَقَـتْ رَحْمَتِيْ غَـضَـبِيْ

(SABAQOT ROHMATII GHODLOBII)
(Rohmat-Ku mendahului amarah-Ku)
Kasih sayang-Ku lebih dahulu, lebih menonjol dari pada murka-Ku. Ini supaya hamba-Nya atau manusia senantiasa mengharap kepada Alloh . Jangan sampai putus asa atau agar menyadari bahwa rohmat itu min ‘indillah. Rohmat atau ni’mat, baik Ni’matul-ijad (ni’mat diwujudkan oleh Alloh), maupun ni’matul imdad (ni’mat dipelihara).
وَرَحْمَـتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْئ ٍ { الا عراف 156 }
(WAROHMATII WASI’AT KULLA SYAI-IN)
( Dan rohmat-Ku meliputi segala sesuatu)
Tapi kalau Ghodlob atau murka Tuhan, itu hanya sebagian. Dan adanya kemurkaan Tuhan itu sebabnya dari si hamba. Jadi rohmat atau kasih sayang Tuhan itu lebih kuat dari pada ghodlob atau murka-Nya. Disamping itu, sekalipun manu-sia itu selalu berlarut-larut, kalau dibanding dengan belas kasihan Tuhan, bukan bandingan. Jadi terkecam sekali kalau berputus asa karena berlarut-larutnya.
Penyarah Hikam Syekh Abdulloh As-Syar-qowi mengatakan bahwa isi pada Kitab Al-Hikam pada umumnya meningkatkan. Meningkatkan Tauhid dan ‘ubudiyah. Dan memang sudah seha-rusnya kita sebagai manusia dan lebih-lebih sebagai Ummat Islam meningkatkan Tauhid dan ‘ubudiyah kepada Alloh .
Pada Minggu yang lalu saya kemukakan Syekh pengarang Al-Hikam, Syekh Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim, terkenal sebagai sebutan Ibnu ‘Athoillah, As-Sakandari. Beliau berguru pada Syekh Abul Abbas Al-Mursi. Sebelum Beliau terjun dalam bidang Tasawuf sudah me-nguasai bidang Syari’at. Disamping terus memper-dalam bidang Syariat beliau terjun pula dalam bidang haqikat atau tasawuf. Syekh Abul Abbas Al-Mursi tadi adalah muridnya Syekh Abul Hasan As-Syadzali. Dan Beliau ini Murid dari Syekh Ibnu Abdis-Salam Al-Masyisy. Tanggal kelahiran Beliau Ibnu ‘Athoillah tidak disebutkan, tapi hanya wafat-nya disebut dalam Kitab At-Thobaqotus Syafi’iyah. Wafat di Qohiroh Mesir pada Bulan Jumadil Akhir tahun 709 H. Entah masuknya kitab Al-Hikam atau ke Jawa khususnya Jawa Timur, kita tidak tahu. Begitu juga tidak diketahui tahun berapa kitab Hikam dikarang.
)مِنْ عَلاَمَـةِ اْلإعْتِمَادِِ عَلَى الْعَمَل نُـقْصَانُ الرَّجَآءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الـزَّلَل ِ(
« MIN ‘ALAAMATIL-I’TIMAADI ‘ALAL-‘AMALI NUQSHOONUR-ROJAA-I ‘INDA WUJUUDIZ-ZALALI «
Itulah kalimah Hikam yang pertama. Di- sebut “Hikam”, kata jama’ dari kata “hikmah”. Artinya kata-kata yang berguna. Biasanya kata-kata hikmah itu singkat, tapi tegas dan luas. Hikmah atau kata mutiara.
Setengah dari pada tandanya menjagakan amalnya, ibadah atau pebuataannya, atau usaha-nya, yaitu turun harapan atau tipis harapannya ketika menemui kemacetan atau kegagalan atau kenegatifan atau kesalahan, disengaja atau tidak.
Ketika mengalami atau menemui kesalahan dalam usaha atau ibadahnya lalu tipis harapanya. Pesimis, kecil hati. Tapi kalau mengalami keber-hasilan atau kemajuan, menjadi tambah atau besar harapan. Besar hati atau optimis. Itu tadi setengah dari pada tandanya menjagakan amal. Amal jawarih seperti dzikir, sembahyang, puasa dan lain-lain. Terutama amal anggota lahir. Karena kalau amal batin, bagi orang yang sudah bisa menggunakannya, lebih selamat. Adapun amal lahir seperti baca sholawat, dzikir atau mujahadah sekalipun dan sebagainya, amalan yang secara langsung kepada Tuhan seperti sembahyang, baca qur’an, dzikir, dan sebagainya, atau amal-amal yang ada hubungan di dalam masyarakat seperti zakat, menolong, atau memberi sedekah, memberi petunjuk dan sebagainya, itu semua kalau tidak tepat atau salah, menjadi tipis harapan. Harapan berhasil, harapan diridloi Tuhan, atau harapan selamat.
Itu semua bagi orang yang masih menja-gakan kepada amal-amalnya. Yaitu orang yang masih tebal nafsunya. Masih dikuasai oleh nafsu lalu mengaku bisa berbuat begini begitu. Bisa ber-amal dan sebagainya, sehingga menjagakan atau membanggakan kepada amalnya atau usahanya. Malah di sini seterusnya disebutkan :

وَالْمُعْـتَمِدُ عَلَىذَلِكَ الْعُـبَّادُ وَالْمُرِيْدُوْنَ.

“Orang yang menjadi tipis harapan ketika menemui kesalahan atau kenegatifan yaitu orang yang men-jagaklan amalnya tadi, ialah mereka ‘ubbad (orang-orang ahli ibadah lahir), dan mereka muriidun (orang-orang yang menginginkan wushul atau sadar kepada Alloh .
Kalau dijelaskan ‘ubbad atau muriidun, ya oto-matis mereka begitu, karena belum sadar. Pasti ! Kalau salah atau berkurang, itu menjadi berkurang harapannya. Otomatis. Karena belum sadar kepada Alloh 
فَالأَوَّلُوْنَ يَعْتَمِدُوْنَ عَلَيْهَا فِي دُخُوْل الْجَـنَّة ِوَالتَّـنَعُّم ِفِيْهَا وَالنَّجَاة ِمِنْ عَذَابِ الله ِتَعَالَى. وَالآخـِرُوْنَ يَعـْتَمِدُوْنَ عَلَـيْهَا فِي الْوُصُوْل ِإِلَىالله ِوَكَشْفِ الأَسْـتَارِعَن ِالْقُلُوْبِ وَحُصُوْل الأَحْـوَال ِالْقآئـِمَةِ .......الخ

Golongan pertama, orang ahli Ibadah itu yang diinginkan surga. Atau istilah lain selamat dunia akhirot dan surga yang tinggi yang megah dan sebagainya. Adapun “muriduun” yaitu murid, …. orang yang menghendaki. Menghendaki wushul atau sadar kepada Alloh . Muriduun atau “saalikuun”. Dalam satu hal sama. Tapi sebenarnya yang dimaksud “muriduun” itu orang yang baru melangkah atau akan melangkah, dan "saalikuun" orang yang sudah atau sedang berjalan. Tapi itu tadi kalau kedua kata itu berjajar. Sedang kalau tidak berjajaran, terpisah, yang dimaksud saali-kuun juga muriiduun.
Jadi kalau “Muriduun”, mereka menjagakan amalnya untuk wushul kepada Alloh . “Kalau saya mujahadah mempeng, giat, pasti cepat mencapai wushul atau sadar”. Itu fikiran mereka.
Lha dua kelompok “ubbad” dan “muriidun” tersebut, di dalam menjagakan amal mereka, itu terkecam. Mengapa terkecam ? Sebab ya itu tadi masih mengaku. Mengaku bisa beramal, bisa berusaha. Masih memandang kepada nafsunya. Memandang kepada pribadinya. “Aku ada dan aku bisa berbuat, bisa beramal”. Ini terkecam. Sebab bukankah sesungguhnya “Laa Haula Walaa Quw-wata Illa Billah” ? Kok dia mengaku ada, mengaku bisa berbuat, bisa beramal dan sebagainya, itu terkecam !
Para hadirin hadirot mari kita koreksi ! Mari kita koreksi keadaan diri kita masing-masing. Terutama soal yang pokok ! Sebelum kita melang-kah, harus sudah kita dhedher tanaman itu. Harus kita dasari memakai dasar yang teguh dan kuat. Ibarat bangunan, itu pondasinya. Bangunan yang tidak ada pondasinya yang kokoh pasti hancur. Begitu juga amal perbuatan. Kalau tidak ada pondasi ini, otomatis hancur ; tak berguna ! Hancur menjatuhi kepada yang membangun. Ngembruki atau menjatuhi soal dunia itu sudah berat, lebih-lebih ngembruki soal akhirot, itu lebih berat.
Itu tadi soal tauhid yang penting dan pokok sekali. Bagaimana kita di dalam mujahadah, di dalam kita beramal, apakah harapan kita tetap atau berubah-ubah, pasang surut. Kalau harapan kita pasang surut, menurut keadaan kita, itu berarti belum tepat. Kalau hati kita pasang surut rojak-nya atau optimisnya, pasang surut, berubah-ubah menurut keadaan diri kita, berarti itu tidak tepat ! Mestinya harapan itu harus hanya diarah-kan kepada Alloh . Kok lalu diarahkan kepada amal kita, itu makanya tidak tepat. Kalau perlu ini suul adab ! Salah alamat !
Mari kita dirikan pondamen di dalam hati sanubari kita. Pondamen dari segala amal yaitu Tauhid di dalam hati sanubari kita yang sekokoh-kokohnya ! Jangan sampai kita menjagakan kepa-da amal kita ! Kalau ketika sregep menjadi besar harapan tapi kalau sedang ngglonjom lalu tipis harapan. Itu namanya masih mempertuhan kepada nafsunya, kepada amalnya, kepada usahanya ! Kita harus memandang kepada Alloh  ! Sekalipun bagaimana giat kita, tapi kita harus tetap takut kepada Alloh  ! Sebab hanya Alloh yang hanya ditakuti. Sekalipun bagaimana baiknya keadaan kita ! Sekalipun bagaimana ngglonjom kita, kita harus tetap mengharap kepada Alloh  ! Meng-harap kepada Alloh  ! Karena sifat Tuhan, pem-berian Tuhan tidak digantungkan kepada keadaan atau usaha kita. Sebelum ada apa-apa, Alloh  sudah “WAROHMATII WASI’AT KULLA SYAI-IN” “BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM” seperti pada permulaan tadi. Sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan kita, karena ngglonjom atau giat,…. sama sekali tidak.
Lha kalau begitu, Nabi Adam  itu salah semua, misalnya. Jangan begitu, jangan tergesa-gesa menyalahkan suatu persoalan sebelum me-nguasai sepenuhnya segala sesuatu yang ber-sangkutan dengan persoalan. Kalau memang sudah menguasai suatu persoalan secara obyektif, secara menyeluruh itu boleh menyalahkan sesuatu. Menguasai jumlah dan tafsil-nya sampai menyeluruh. Baru boleh menyalahkan.
Para hadirin hadirot. Ketika kita ngglonjom, kita diperintah supaya mengecam kepada pribadi kita sendiri. Tapi ketika kita baik keadaanya, ……. Fal-nahmadillah (kita harus muji kepada Alloh )! Memuji atau syukur kepada Alloh , dan terima kasih kepada makhluq lain yang ada hubungannya dengan baiknya keadaan kita. Soal moril atau materiil. Tapi kalau buruk keadaan kita,…… falaa taluumanna illaa anfusanaa. (jangan mengecam selain kepada diri kita sendiri). Dan di dalam mengecam diri pribadi itu harus didasari LILLAH. LILLAH-BILLAH istilah Wahidiyah. Dan itu harus senantiasa menjadi dasar dalam segala gerak kita. Itu tuntunan Islam. Tuntunan Rosulullah . Bahkan tuntunan segala agama yang bertuhankan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk Tuhan dan Sebab Tuhan. Yang berbeda hanya istilahnya saja mung-kin. Bahkan bagi kita bangsa Indonesia yang punya Pancasila, sila pertama ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Harus mendasari segala amal perbuatan kita dengan LIL-TUHAN dan BIL TUHAN YANG MAHA ESA !
Mari para hadirin hadirot, sekali lagi kita mengecam kepada diri kita sendiri, tapi harus didasari LILLAH-BILLAH !
Diwaktu kita ngglonjom kok lalu mengharap, itu dalam satu hal terkecam ! Terkecam ! Dalam Al-Qur’an ada kata-kata “illa amaaniyya”. Yaitu orang yang hanya menduga-duga. Nglamun. Mengharap agar roja’ tapi tak mau berjuang, tak mau usaha, itu namanya melamun. Bukan roja’, sekalipun tidak harus mengandalkan amalnya, perbuatan-nya, ibadahnya, tapi harus, … harus giat berusaha. Bersungguh-sungguh, bermujahadah ! Jadi jangan sampai kita salah faham atau salah menempatkan segala bidang di masing-masing tempatnya ! Kalau kita salah dalam menempatkan segala sesuatu di tempatnya, itu namanya dholim. dzholim. Definisi dholim yaitu :
الظُّـلْـمُ هُوَ وَضْعُ شَيْئ ٍفِي غَيْرِ مَحَلّـِهِ

(ADH-DHULMU HUWA WADL’U SYAI-IN FII GHOIRI MAHALLIHI)
(Dholim yaitu menempakan sesuatu bukan di tempatnya)

Begitu juga kalau kita menjagakan amal, itu namanya salah alamat. Dholim. Mestinya harus menjagakan kepada Tuhan, kok menjagakan kepa-da amal, itu dholim. Sekalipun ngglonjom, tetap harus menjagakan kepada Tuhan ! Tapi dalam kita menjagakan kepada Tuhan kok tidak mau berbuat atau berusaha itu namanya “amani” -lamunan. Dan ini terkecam !
Jadi mengharap atau roja’ kepada Tuhan itu penting, tapi yang lebih penting lagi, lebih prinsip adalah ‘tepatnya’. Hubungan ini mungkin, orang yang selalu kuat, tekun, non stop usahanya, mujahadahnya, tapi tidak ada roja’ kepada Tuhan, melainkan menjagakan kepada amalnya, mungkin masih lebih baik dari pada orang yang kurang tekun amalnya, sering istirahat tapi dia tepat. Tapi kita harus sebanyak mungkin dan setepat mung-kin. Ini seharusnya. Tapi “al-aham” setepat mung-kin. Jadi yang penting, yang prinsip yaitu ‘setepat mungkin’. Dan Insya Alloh kemampuan kita masih banyak untuk usaha setepat mungkin dan seba-nyak mungkin. Jadi jangan sampai kita menyalah gunakan. Misalnya, “Ah biarlah sedikit asal tepat. Sekalipun banyak, tapi tidak tepat itu tak berarti”, dan sebagainya. Itu namanya menyalahgunakan. Tidak boleh dan otomatis terkecam. Terkecam karena menyalahgunakan. Dus, sekali lagi kita harus setepat mungkin dan sebanyak mungkin. Al-aham, yang lebih prinsip “setepat mungkin”. Istilah umum kuwalitas atau kualitet. Adapun kuwantitas atau banyaknya, itu nomor dua. Atau isi atau mutu dari pada itu semua. Kuwalitas ! Tapi kita harus berusaha mengisi dua hal itu. Ya kuwalitas, ya kuwantitas !
Itu umum, soal apa saja. Misalnya soal LILLAH BILLAH. Yang paling pokok adalah BILLAH. Karena hubungan dengan Tauhid. Dan hubungan dengan ‘ubudiyah. Tapi yaitu tadi mungkin disalah gunakan. Kalau berani menyalahgunakan, itu ber-arti bunuh diri. Jadi yag prinsip adalah BILLAH atau Tauhidnya. Tapi kita harus usaha bersama-sama mengisi BILLAH dan LILLAH. Haqiqot dan syare’at ! Begitu juga hubungan dengan roja’ dan ikhtiar atau usaha.
Kembali lagi pada pengajian. Setengah dari pada alamat atau tanda menjagakan amal, tidak menjagakan Tuhan, yaitu « nuqshonur-roja’ » (ber-kurangnya harapan atau pessimis ketika dalam keadaan terpeleset). Wah harapan tipis dapat selamat dunia akhirat, dapat diridloi Alloh, atau dapat wushul kepada Tuhan, ketika dalam ke-adaan ma’siat, ketika dalam keadaan ngglonjom. Itu namanya menjagakan amal atau usahanya, tidak menjagakan kepada Tuhan. Istilah Wahidiyah mejagakan nafsu, tidak menjagakan Alloh !
Para hadirin hadirot, mari soal yang pokok kita tempatkan pada yang pokok juga. Kita harus “yuktii kulla dzii haqqin haqqoh”. Soal pokok harus ditempatkan pada yang pokok, dan yang kurang pokok juga pada tempatnya masing-masing. Dan seterusnya. Kata Sayyidina ‘Ali Karromallohu wajhahu:
مَا هَلَـكَ امْـرؤٌ عَرَفَ قََـدْرَ نَفْـسِهِ

(MAA HALAKA IMRU-UN ‘AROFA QODRO NAFSIHI)
(Tidak akan mengalami kerusakan orang yang tahu akan kedudukannya).

Kebalikan dari ini ialah dholim tadi. Yaitu menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.

وَمِنْ عَلا َمَةِ كَوْنِهِِ مِنَ الْعَارِِفِـيْنَ فَـنَاؤُهُ مِنْ نَـفْسِهِ فَـإِذَا وَقَعَ فِىزَلّـَة أَوْ أَصَابَهُ غَفْلَـةٌ شَهِدَ تَـصْرِيْفَ الْحَـقِّ فِـيْهِ وَجِرْيَانَ قَضَائِـهِ عَلَيْهِ كَمَا أ َنَّـهُ إِذَاصَدَرَ مِنْـهُ طَاعَةٌ أَوْ لاَحَ لَهُ مُشَاهَدَة ٌ قَلْبِـيَّةٌ لَمْ يَرَ فِى ذَلِكَ حَوْلَهُ وَقُوَّتَـهُ. فَلاَ فَرْقَ عِنْـدَهُ بَيْنَ الْحَالَـيْنِ ِلأَنـَّهُ غَـارِقٌ فِى بِحَارِالتَّـوْحِيْدِ قَـد اسْـتَـوَى خَوْفُـهُ وَرَجَآؤُهُ...الخ

Otomatis yang dikatakan ‘ubbad yang menjagakan amalnya tadi orang ahli ibadah yang belum sadar. Ada kata-kata:
مَنْ صَلَّىخَمْسًا فِىأََوَّلِ اَوْ قَاتِهَا سُمِّيَ عَابِدًا

(MAN SHOLLAA KHOMSAN FII AWWALI AWQOOTIHA SUMMIYA ‘AABIDAN)
(orang yang sembahyang pada awalnya waktu, disamping ibadah lain-lain, itu dinamakan -‘abidan- ahli ibadah).
وَمَنْ خَرَجَ عَنِ الدُّنْيَا سُمِّيَ زَاهِدًا

(WAMAN KHOROJA ‘ANID-DUN-YAA SUMMIYA ZAAHIDAN)
(Dan orang yang keluar dari dunia, orang yang menjauhi dunia, fanak atau rusak pandangannya terhadap dunia, dinamakan orang yang bertapa- zaahidan).
وَمَنْ خَرَجَ عَـنِْ نـَفْسِهِ سُمِّيَ عَارِفـًا
(WAMAN KHOROJA ‘AN NAFSIHII SUMMIYA ‘AARIFAN)
(Barang siapa yang keluar dari nafsunya, yang bebas dari nafsunya, dinamakan orang ‘Arif, orang yang sadar kepada Alloh ).

Tapi ya bisa merangkap-rangkap. Artinya ya “al-‘arif” (orang yang sadar kepada Alloh) dan disamping itu ia juga ahli ibadah dan zuhud/ ber tapa. Ada istilah:
اَلْعَارِفٌ كَآئِنٌ بَآئـِنٌ

(AL-‘AARIFU KAA-INUN BAA-INUN)
Orang ‘Arif itu “kaa-inun”. Tetap, ada diantara manusia yang lain. Dalam bidang apa saja, dalam segala bidang. Tapi “baa-inun” dia di luar manusia. Wujudnya sama-sama ke pasar, ya sama-sama tukang jahit, ya juga sama-sama ke sawah, tapi yang satu hanya lahirnya saja, dan yang satu lagi luar dalam.
اَلْـعَارِفُ ظــَاهِرُهُ مَعَ الْخَلْـقِ
(AL-‘AARIFU DHOHIRUHUU MA’AL-KHOLQI)
(Orang ‘Arif lahirnnya bersama makhluq), tapi
وَبَاطِـنُهُ مَعَ الله
(WABAATHINUHUU MA’ALLOOH)
(Batinnya bersama Alloh).
Ya ini mudah-mudahan para hadirin hadirot, pengajian pagi ini diridloi Alloh wa Rosuulihi , membuahkan manfaat yang sebanyak- banyaknya. Menjadi sebabnya kita sadar dan meningkat kesadaran kita kepada Alloh wa Rosuulihi . Amiin ! Amiin !

Kembali pengajian

وَمِنْ عَلا َمَةِ كَوْنِهِ مِنَ الْـعَارِفِـيْنَ فَـنَاؤُهُ عَنْ نَفْسِهِ

(WAMIN ‘ALAAMATI KAUNIHII MINAL’AARIFIIN FANAA-UHU ’AN-NAFSIHII)
(Setengah dari alamat ٍatau tandanya orang itu minal ‘arifin (orang yang sadar kepada Alloh ) dia fana’ dari pandangan terhadap nafsunya. Nafsunya tidak jadi acara.
وَإِذَا وَقَعَ فِي زَلَّةٍ أَوْأ َصَابَـهُ غَـفْلَة ٌ شَهِدَ تَصْرِيْفَ الْحَقِّ فِيْهِ

(WA-IDZAA WAQO’A FII ZALLATIN AW-ASHOOBAHU GHOFLATUN SYAHIDA JASHRIIFAL-HAQQI FIIHI)
(Ketika dianya terjatuh atau terkena musibah lupa, dia selalu sadar akan berlakunya Kekuasaan Tuhan). Dalam istilah Wahidiyah “BILLAH”.
Bidang BILLAH. Baik dalam keadaan ma’siat atau tha’at ini harus senantiasa BILLAH. Tapi kalau bidang LILLAH atau syari’at, itu hanya soal tha’at yang boleh diberi dasar LILLAH. Kalau di waktu ma’siat tidak boleh didasari LILLAH. Seperti di dalam rukun Iman yang nomer enam :
وَالْقَدْرِخَيْرِه ِوَشَرِّهِ مِنَ الله ِ
(WAL-QODRI KHOIRIHI WASARRIHII MAINALLOOH)
(Harus yakin bahwa yang baik dan buruk itu sudah qodar dari Alloh  )

Ibarat bangunan sudah direncanakan oleh yang membangun. Baik itu buruk atau baik. Begitu juga makhluq, sudah direncanakan oleh Alloh . “Khoirihi wa sarrihi minalloh”. (Baik dan buruk, itu hanya dari Alloh . Itu bidang BILLAH. Harus kita isi, disamping mengisi, bidang LILLAH.
Lha itu orang ‘arifin, ketika dalam keadaan ter-belegong dia tetap menyadari BILLAH. Menya-dari itu dari Alloh. Ini tidak berarti lalu tidak mengisi bidang LILLAH. Yang sempurna, yang seharusnya ialah disamping mengisi bidang BILLAH, bidang haqiqot, harus mengisi bidang syari’at, bidang LILLAH !

Ketika dalam maksiat misalnya. Dalam bidang haqiqot, harus tetap BILLAH dan dalam bidang syari’at harus taobat. “Robbanaa dholam-naa anfusanaa” misalnya. Mengecam nafsunya. Tapi ya harus didasari LILLAH. Mengecam nafsu-nya tidak didasari LILLAH, itu berarti masih nuruti nafsu. Masih dijajah / dikuasai oleh nafsu. Ini mungkin saking licinnya nafsu. Bermujahadah, dzikir sekalipun kepada Alloh, tapi tidak didasari LILLAH, ini berarti nafsu. Oleh karena syari’at baik perbuatan lahir atau perbuatan hati, yang tidak didasari LILLAH, itu otomatis nafsu. Dzikir kepada Alloh, baik dzikrullisan atau dzikrulqolbi jika tidak didasari LILLAH, ini otomatis Linnafsi-Binnafsi. Adapun bidang tauhid, tidak ada hubungan dengan LILLAH. Ya BILLAH itu sudah ! Saya BILLAH ini saya dasari LILLAH umpamanya, itu tidak benar. BILLAH ya BILLAH itu sudah. LILLAH atau syari’at itu tidak hanya bidang lahir saja. Tapi juga batin atau hatinya. Misalnya punya niat, atau dzikir se-kalipun, kalau tidak dialamatkan kepada LILLAH, otomatis LINNAFSI-BINNAFSI.
Meneruskan pengajian. Dus orang ‘Arif, ketika dia mengalami kebaikan, dia tidak mengaku diri. Tetap sadar BILLAH. Tetap "La Haula Walaa quwwawata Illaa Billaah". Tidak ada bedanya baginya, baik dalam keadaan baik atau dalam keadaan tidak baik, tetap dia BILLAH. Tetap ber-tauhid.
ِلأ َنَّهُ غَارِقٌ فِي بِحَارالتَّـوْحِيْدِ
(LIANNAHUU GHOORIQUN FII BIHARIT-TAUHIIDI)
(Dia tetap tenggelam di dalam samudra tauhid)
قَدِ اسْتَـوَى خَوْفُـهُ وَرَجَاؤُهُ
(QOD-ISTAWAA KHOUFUHUU WAROJAA-UHU)
(Tetap sama khouf dan rojaknya. Tetap sama takut dan harapannya).

Karena sifat Tuhan itu ditakuti dan diharap. Bukti-nya lagi yaitu “Bismillaahir Rohmaanir Rohiim” “Ar-Rohmaan Ar-Rohiim”. Kasih sayang. Ini berarti sekalipun keadaan kita bagaimanapun juga, tetap harus mengharap kasih sayang Alloh. Kalau karena berlarut-larut lalu putus asa, itu terkecam. Dalam Al-qur’an sudah diperingatkan :

إِنَّهُ لاَ يَايْئَسُوْ مِنْ رَوْح ِالله ِإِلا َّالْـقَوْ مُ الْكَافِرُوْنَ ( يو سوف )

(Sesungguhnya tiada yang putus asa dari rohmat Alloh kecuali orang-orang yang kafir)
Orang putus asa, berarti orang yang menia-dakan Tuhan. Orang yang menutup-nutup kemu-rahan Tuhan. Istilah manusia, orang yang melukai Tuhan. Tuhan tidak dapat dilukai. Jadi dalam keadaan buruk atau berlarut-larut harus menge-cam kepada dirinya sendiri.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَذِهِ الْعَـلاَمَاتِ فـِيْهِ فَلْـيُجَاهِدْ نَـفْسَهُ بِالرِّيَاضَةِ وَاْلأ َذْكَارِحَتَّىيَصِلَ إِلَى مَقَامِ الْعِرْفَانِ

)Barang siapa keadaannya belum cocok dengan itu tadi, harus usaha sekuat mungkin !. Usaha sekuat mungkin. Usaha sekuat mungkin dengan riyadloh-riyadloh dan banyak dzikir(.
ا
Hubungan dengan ini Imam Syazali bersabda :
مَنْ لَمْ يَتَـغَلْـغَلْ فِي عِلْمِنَا هَـذَا كَانَ مُصِرًّا عَلَى الْكبَآئِرِ وَإِنْ عَمِلَ مَا عَمِلَ وَهُوَ لا َ يَعْـلَمُ

(MAN LAM YATAGHOLGHOL FII ‘ILMINAA HADZAA KAANA MUSHIRRON ‘ALA-KABAA-IRI WA-IN ‘AMILA MAA ‘AMILA WAHUWA LAA YA’LAMU}
(Barang siapa yang belum mengecakkan atau mera-sakan ilmuku ini, dia berdosa besar sekalipun bagaimana baiknya. Dan dianya tidak sadar, tidak merasa kalau berdosa besar !)
Bermujahadah dan riyadloh, lahir batin ! Mujahadah itu yang penting hatinya bersungguh-sungguh ! Mujahadah lahirnya untuk sebagai pupuk, hatinya harus senantiasa setiti ngati-ngati (senantiasa waspada). Kalau menyeleweng harus cepat-cepat kembali. Senantiasa memusatkan perhatian ! Senantiasa Fafirruu Ilallohi wa Rosulihi  ! Sekuat mungkin ! Ibarat anak-anak bermain-main jumpritan, harus selalu kuat-kuat memegang jumpritan-nya. Kalau sampai renggang, sekalipun hanya satu senti, pasti ditelan oleh lawan. Yaitu nafsu ! Tapi kalau sungguh-sungguh kuat meme-gang jumpritan-nya, dalam keadaan bagaimanapun tidak apa-apa. Malah dapat memanfaatkan.
Jadi kalau orang merasa belum memiliki, atau belum memiliki dengan tanda-tanda itu, sebab mungkin belum memiliki tapi sudah merasa memiliki mungkin, kalau belum memiliki harus berusaha sekuat mungkin dengan kemampuan yang ada padanya ! Sebab hal ini yang akan menentukan kelak. Kita maklum, kita akan hidup di alam akhirot sak jeg dumbleg – selama-lamanya.
وَمَنْ كَانَ فِىهَذِهِ أ َعْمَىفَهُوَ فِىا ْلآخِرَة أ َعْمَىوَأ َضَلّ ُ سَبـِيْلا ً (الاسراء)
(Dan barang siapa yang buta (hatinya) niscaya di akhirot kelak ia akan lebih buta dan lebih tersesat jalannya).

Orang yang di dunia buta, tidak tahu siapa Tuhannya, otomatis di akhirot akan lebih jauh dari Tuhannya. Kalau sudah memiliki harus terus ditingkatkan.
Kemudian Syekh Asy-Syarqowi Penyarah Hikam mengatakan yang maksudnya bahwa maksud dari pada pengarang Hikam menguraikan hal tersebut ialah supaya seseorang jangan sampai menjagakan selain Tuhan. Kok berarti jangan beramal, pokok sudah sadar ,…tidak ! Seperti saya utarakan tadi. Menjagakan Tuhan tanpa beramal namanya ‘lamunan’. Tapi kalau menjagakan amal, namanya ‘syirik’. Dus yang dimaksudkan ialah supaya senantiasa mengoreksi diri, sehingga dapat setepat-tepatnya.
(إِرَادَتُك َالتَّجْرِيْدَ مَعَ إِقَـامَـة ِاللهِ إ ِيَّاكَ فِىا ْلأ َسْبَاب مِنَ الشَّهْوَة ِالْخَفِـيَّـةِ, وَإ ِرَادَتُكَ ا ْلأ َسْبَابَ مَعَ إِقَـامَة الله اِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاط ٌعَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِـيَّـةِ)
“Tajrid itu sepi. tidak bekerja, tidak usaha hanya tawakkal / pasrah bongkokan kepada Tuhan, melulu ibadah saja. Tapi ia orang yang harus bekerja. Dia ingin hanya tawakkal saja dan ibadah saja. Padahal dia masih cocok harus usaha atau bekerja. Itu namanya “minas-syahwatil khofiyyah”. Dia terjebak oleh imprialis nafsu tidak merasa. Sehingga hal yang sesungguhnya buruk disangka-nya baik. Tidak tepat dianggapnya tepat.
Tawakkal dan tidak bekerja, tidak berusaha soal ekonomi, itu mungkin saja terjadi atas diri seseorang. Tapi ada syarat-syaratnya dan ada sebab-sebabnya. Apa itu syarat-syaratnya ? Insya Alloh nanti di belakang atau mungkin besok Minggu lagi diterangkan. Di sini mengenai penda-huluan itu saja dahulu.
Jadi, orang yang masih berada di dalam maqom asbab masih harus masih berkecimpung dibidang ekonomi, harus ke sawah harus ke pasar, harus ………usaha ini itu dan sebagainya, kok dianya tidak mau bekerja dengan alasan aku ini tajrid, tawakkal hanya melulu ibadah saja, aku mau mujahadah saja, aku mau sembahyang saja, mau….. puasa saja dan sebagainya misalnya, padahal dia sesungguhnya tidak memenuhi syarat-syarat untuk itu, itu namanya dia terjebak oleh bujukan nafsu yang sangat halus. Lalu syarat-syaratnya apa saja ! Nanti, Insya Alloh pengajian besok Minggu lagi.
Jadi mudahnya, kita harus senantiasa menye-rah kepada Alloh . Lha tahunya kalau hal tersebut yang dikehendaki Alloh  bagaimana ? insya Alloh nanti atau pengajian yang akan datang. Terkadang ada orang yang salah faham. Menyerah bongkokan. Menyerah bongkokan kepada Tuhan, ini harus seratus persen bulat-bulat menyerah segala-galanya tanpa reserve. Andaikata disuruh menjermos ke dalam neraka sekalipun misalnya. Harus,…. harus dijalani. Itu namanya betul-betul menyerah bongkokan. Tidak hanya menyerah sebagian sebagian saja. Tapi satu bidang kita yakin Tuhan tidak mungkin menjeromoskan hamba-Nya ke dalam neraka sengsara. Begitu juga menyerah dan tidak mau berbuat apa apa, itu salah faham
إِنـِّىأ َسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَـالَمِـيْنَ
(Sesungguhnya aku menyerah kepada Tuhan semesta alam).
Yang menyerah itu hatinya. Biar disuruh mengerjakan apa saja, harus dikerjakan dengan ikhlas dan dengan gembira. Hatinya menyerah tapi tidak mau melaksanakan apa-apa yang diperin-tahkan, itu namanya… yah tidak cocok.
Ya mudah mudahan para hadirin hadirot, kita diridloi Alloh  yang sebanyak-banyaknya, dan memperoleh syafa’atnya Rosululloh , baro-kahnya Ghoutsi Hadzaz Zaman wa A’waanihi wa syaairi ahbaabillah  yang sebanyak-banyaknya, sehingga dapat tepat yang setepat-tepatnya di dalam segala bidang ! Amiin, Amiin , Amiin.
Kiranya pengajian cukup sekian, waktu dan tempat dipersilahkan kepada Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat.


No comments: